Duka Pandemi dan Ikhlas Si Bungsu

 ilustrasi photo (pixabay)


Tawa Berganti Pilu

“Berat sekali rasanya.”

     Nurul Istianah, gadis bungsu yang terkenal ceria namun sikapnya perlahan berubah akibat situasi pilu pandemic Covid-19. Dia harus menerima kenyataan pahit menjadi anak piatu di usia 20 tahun. Menilik pada kehidupan sehari-harinya, Nurul tinggal di rumah bersama orang tua dan kedua kakak laki-lakinya. 

     Dia sangat menyukai suasana Desa Baureno, Bojonegoro. Terlebih, jika mengingat keberadaan rumah sang nenek yang bertempat tinggal dekat di sebelah rumahnya. Hal tersebut membuat Nurul semakin betah jika harus di rumah.

     Terlahir menjadi anak bungsu, Nurul memiliki seorang ayah hebat yang selalu bekerja keras untuk keempat anaknya, bapak paruh baya itu biasa disapa Kastolan. Didampingi oleh Musripah, yakni istri sekaligus ibu dengan penuh kasih sayang merawat keluarga. Keduanya masih sangat kompak untuk mendidik keempat anaknya.

     Kesibukan ayah Nurul yang setiap hari bekerja sebagai kuli, tak lantas membuat hubungan antara ayah dan anak renggang. Semua itu juga berkat bantuan ibu Nurul yang lebih memilih sebagai ibu rumah tangga, agar bisa memantau dan menemani tumbuh kembang putera-puterinya. 

     Nurul memiliki tiga orang kakak, kakak perempuan pertama sudah berkeluarga. Nurul lebih sering menyapanya dengan panggilan Mbak Ima. Ada pula Mas Nakin, kakak kedua yang menikah dengan Mbak Linda, istri yang juga bekerja menjadi salah seorang bidan di Puskesmas Baureno. Semenjak kedua kakaknya menikah dan hidup masing-masing, Nurul memang hanya tinggal satu rumah dengan kedua orangtuanya dan kakak ketiganya bernama Mas Utomo.

     Hubungan diantara mereka terjalin sangat baik, bahkan suasana keluarga semakin hangat ketika ponakan Nurul menginap atau bermain ke rumahnya. Tiada hari tanpa suara si kecil dengan rengekan ketika haus minta susu. Namun, ketika pandemic penyebarannya melambung tinggi, gelak tawa itu harus tergantikan dengan rentetan cerita pilu duka kematian pandemi Covid-19.

Ibu Terserang Covid-19

     “Ibu awalnya, belum merasa terkena gejala Covid-19 apapun.”

     Nampak sorot mata Nurul menatap langit-langit rumah sembari mengingat kondisi sang ibu kala itu. Terlihat jelas ketika Nurul berusaha tegar dan tenang ketika harus membuka kembali rentetan peristiwa tersebut. Kasus penyebaran Covid-19 jenis Delta memang sangat merong-rong, hingga akhirnya ibu Nurul terinfeksi pada pada 2 Juli 2021.

     "Tubuh ibu saat hari pertama sakit terlihat sangat lemas. Dua hari ibu mengalami demam disertai batuk. Hingga membuat ibu hanya tertidur, dan tidak nafsu makan apalagi minum."

     Melihat hanya seperti gejala demam, ibunya pun sekadar mengonsumsi resep obat dari dokter berupa pereda batuk dan pilek. Meskipun Nurul juga mengingat, sang ibu memang mempunyai penyakit lambung. Namun tampaknya, penyakit itu tidak berhubungan dengan gejala yang sedang ibunya rasakan.

 Kondisi ibunya semakin mengkhawatirkan, terlebih ketika sempat mengeluh badannya terasa sakit. Akhirnya, keluarga membawa ibu ke puskesmas Banjaranyar. Sebelumnya, ibu telah diperiksakan ke dokter terdekat sebanyak dua kali. Mendapat resep obat penurun demam, dan vitamin, namun ternyata kesehatan ibu tak kunjung membaik.

     Meskipun belum tahu penyebab pasti penyakit ibunya, pihak keluarga selalu mengupayakan perawatan terbaik. Terlebih ketika hanya mampu dirawat mandiri di rumah, akibat kendala ruang inap rumah sakit yang selalu penuh pasien. 

     Mbak Linda, kakak ipar yang sehari-hari juga bekerja sebagai bidan di puskesmas Banjaranyar pun berupaya utnuk memeriksa ibu dengan tes Covid-19. 
     "Ibu, aku izin untuk tes swab ya Bu... tidak sakit kok,"

     Meskipun terbaring lemas di kasur, sang ibu tetap berusaha menjadi penenang di tengah gelisah keluarganya. 

     "Sudah, tidak perlu dites macam-macam, sebentar lagi ibu sehat kok.”

     Hal sulit untuk membujuk ibu mengecek kesehatannya sendiri. Terlebih dengan mencekamnya kabar Covid-19, semakin membuat ibu takut dan menghindar jika harus berurusan dengan dokter. 

     Namun, hasil memang tidak menghianati usaha. Melalui bujukan dari suami, anak, dan menantu akhirnya ibu bersedia untuk tes swab Covid-19. Terselip rasa takut pastinya, tetapi bagaimanapun tes harus dilakukan agar bisa menentukan perawatan yang memang seharusnya dilakukan. 

     "Sudah tak perlu khawatir," kalimat terucap dari Ibu yang memecah keheningan seisi rumah. 

     Nurul dalam keadaan setengah panik, takut, dan merasa tegang. Doa dan harapan agar sang ibu tetap baik-baik saja tiada henti Nurul dan keluarga ucapkan. Hasil tes swab Covid-19 menjadi sesuatu yang sangat mendebarkan. Seisi rumah hanya mampu terdiam, dan mencoba terlihat tenang.

     Dalam benak, Nurul mencoba menghitung mundur langkah Mbak Linda. Namun belum sampai hitungan ke tiga, Mbak Linda sudah dengan suara terisak melihat hasil tes swab milik ibu. Mbak Linda segera menyeka air matanya.

     "Mas Nakin, ayo cepat ibu bawa ke rumah sakit, kita carikan kamar inap.”

     Nurul tentu saja kaget dan merasa bingung dengan situasi yang tak karuan itu. 

     "Jadi ini hasil swabnya apa? Positif? Kenapa sampai harus dibawa ke rumah sakit?”

     "Iya rul, ibu positif Covid-19. Sekarang, kamu siapkan beberapa pakaian untuk ibu opname ya.”

     Mas Nakin berucap dengan kalimat lembut, agar tak membuat adik bungsu perempuannya semakin cemas.

     Tanpa banyak pertanyaan, Nurul pun langsung menuju lemari kayu yang berada di sudut kamar. Dia menyiapkan perlengkapan seperti, setelan baju, pakaian dalam, hingga selimut. Tangannya gemetar tak karuan, air mata bercucuran sangat deras, akan tetapi semua kesedihan segera Nurul sudahi saat akan mengantar ibunya naik ke atas mobil. 
     "Saya gak kuat membendung tangis, ketika harus menyiapkan perlengkapan ibu untuk dirawat ke rumah sakit.”

     Nurul merasa rapuh seketika, tidak pernah menyangka ganasnya Covid-19 menyerang ibu yang sangat ia sayangi. Pikiran negatif mulai menghantui, Nurul takut sekali ditinggalkan oleh ibunya. Sosok ibu sekaligus teman yang memberikan semangat, dan selalu ada bersama Nurul dalam situasi apapun.
 
     Situasi berubah penuh kesedihan dan khawatir. Banyak orang kaget dan khawatir dengan kabar ibu terifeksi virus Covid-19, mulai dari saudara hingga tetangga desa. Namun melihat wajah sang ibu, Nurul pun yakin ibunya kuat untuk melalui semua ini. 

Ruang Inap Anggrek

     Setelah mengetahui kabar ibu positif Covid-19. Nurul sangat bersyukur baik keluarga ataupun tetangga masih memberikan dukungan moril ataupun materil. Sebelumnya, dia sudah khawatir jika nantinya banyak omongan pedas dan tidak enak sampai ke telinganya. Namun, melihat kebaikan orang-orang yang masih peduli dengan keluarganya Nurul merasa lebih tenang untuk merawat ibunya. 
     Namun, mengingat berbagai rumah sakit di wilayah Bojonegoro selalu penuh sesak karena menangani pasien positif Covid-19, membuat Nurul dan keluarga justru kini dibayangi rasa takut jika sang ibu nantinya tidak mendapat kamar inap. 

     Tanggal 8 Juli 2021, Mas Nakin mencoba membawa ibu ke RSUD Sumberrejo dan Mbak Linda berusaha mencari informasi ruang inap kosong. Selama perjalanan, di mobil kondisi ibu terlihat dengan napas terengah-engah. 

     Hingga kabar baik datang seperti jodoh, tepat ketika ibu sampai di lobby rumah sakit ada kabar terdapat kamar kosong. Ibu mendapat ruang inap tepat di ruang Anggrek, lantai tiga. Dalam ruang inap berukuran 3 kali 5 meter inilah, terdapat pula bapak yang menemani ibu Nurul seorang diri. 

     Situasi pandemi memang mengubah banyak hal. Terlebih, peraturan keamanan di rumah sakit dalam menangani pasien yang terinfeksi Covid-19. Pihak rumah sakit hanya memperbolehkan satu orang saja tanpa bergantian untuk menemani Ibu. Mendengar hal demikian, bapak pun dengan sigap ingin menemani istri tercinta. 

     Meskipun peraturan rumah sakit membatasi akan banyak hal, termasuk juga keluarga yang tak diperbolehkan menjenguk. Akan tetapi, Nurul dan keluarga masih bersyukur setidaknya di ruang inap tersebut bisa berdua. Masih ada teman untuk berbicara, daripada sendiri diselimuti suasana takut dan sepi. 

     Nurul yakin ibu serta bapaknya bisa melewati semua dengan baik, terlebih jika mengingat kasih saying diantara keduanya. Namun rasa cemas menjadi hal tak terelakkan yang selalu menghantui Nurul. Tiada hari tanpa doa dan memberikan dukungan dengan menyiapkan barang apa saja yang diperlukan keduanya selama berada di rumah sakit.
     Keadaan ibu Nurul memang terbilang mengkhawatirkan, hingga perlu perawatan lebih lanjut dan isolasi. Mengingat keadaan spO2 menurun hingga 52%, bahkan setelah dirawat di rumah sakit pun keadaan spO2-nya sempat naik turun dalam beberapa hari. 

     Keluarga yang menunggu di rumah memang menaruh harap banyak pada tenaga medis. Bahkan, Nurul seperti tiada habisnya merapal doa kesembuhan dan kekuatan untuk ibu dan bapaknya. 

     "Tiada hari tanpa mendoakan beliau." 

Menghindari Kesedihan Nenek

     Di tengah rasa kekhawatiran, rupanya ada satu orang yang tidak mengetahui hal apapun. Bahkan, kabar tentang anak perempuannya yang harus dilarikan rumah sakit akibat terpapar Covid-19. 

     Orang itu adalah ibu kandung sekaligus nenek Nurul. Keadaan nenek yang sudah renta, membuat keluarga bahkan ibu Nurul memilih untuk merahasiakan semua itu. Hal yang sengaja dilakukan karena terpaksa, demi mencegah penyakit jantung dan diabetesnya agar tidak semakin memburuk. 

     Nurul sekeluarga hanya tidak ingin membuat sang nenek khawatir dan menambah beban penyakitnya. Bahkan karena ketidaktahuannya, nenek yang biasa disapa Nurul dengan panggilan Emak ini, mengira bahwa anaknya itu hanya menderita demam. 

     "Nenek mengira ibu di rumah.”

     Neneknya bahkan juga berpikir bapak Nurul telah sangat keterlaluan meninggalkan istrinya sakit sendirian di rumah. Ucapan itu terlontarkan sebab orang rumah mengatakan bapak sedang pergi kerja ke Surabaya. Padahal, kenyataannya bapak sedang menemani dan merawat ibu di ruang inap rumah sakit.

    Sangat terpaksa, Nurul juga harus berbohong kepada neneknya demi menutupi keadaan orangtuanya yang ternyata sedang berjuang di rumah sakit.

Memang Begitu Jalannya 

     Nurul selalu menunggu pesan dari Mas Nakin atau Mbak Linda terkait perkembangan keadaan ibu. Selain itu, selama di rumah dia juga masih berusaha mengingat hal yang sampai menyebabkan ibunya terinfeksi Covid-19. 

     Mengingat, ibu adalah tipe orang yang lebih banyak beraktivitas di rumah. Pemikiran itu akhirnya membawa Nurul pada satu hal, yakni mengingat ibu kerap membeli sayur di pedagang langganan yang biasa lewat jam delapan pagi. 

     Tak ingin pusing seorang diri, akhirnya Nurul dengan berhati-hati menanyakan hal tersebut pada Mas Utomo.

     "Mas, apa jangan-jangan ibu ketularan Covid-19 karena sering ketemu tukang sayur ya?" 
     "Kok, bisa kamu mikir kayak gitu?" Nurul dapat pertanyaan balik. 

     "Ya kan… tukang sayur itu sering ke pasar dan ketemu orang, dan punya kemungkinan besar bawa virus. Bisa jadi, tanpa sadar waktu pedagangnya nawarin belanja ternyata bawa virus, dan waktu ketemu, ibu kebetulan imunnya lagi menurun. Makanya ibu bisa sampai..." 

     Belum sampai selesai Nurul mengeluarkan unek-unek isi kepalanya, Utomo menyahut. 

     "Tapi.. Ada baiknya gak berburuk sangka gitu rul, apalagi sampai nuduh orang.”

     "Astagfirullah, iya juga sih mas.”

     Semakin dewasa, Nurul memang terbilang jarang ngobrol bersama saudaranya. Selain karena kesibukan masing-masing, diantara keempat saudara itu juga memang tidak pernah ada topik obrolan. Maka, sisi lain di tengah sakitnya sang ibu yang harus dirawat inap, ternyata dapat mencairkan suasana rumah. 

     "Saya dengan kakak itu terbilang jarang sekali ngobrol ataupun bertukar pikiran, namun ketika ibu dibawa ke rumah sakit. Ternyata banyak hal yang justru bisa menciptakan kehangatan, dan membuat komunikasi diantara kami semakin terjalin," Nurul tampak berbinar mengungkapkan hal tersebut. 

     Suasana rumah memang tak sekaku hari lalu. Sakitnya ibu membawa kembali momen yang pergi entah kemana saja selama ini. Obrolan ringan sampai berantem kecil rebutan remote TV membuat rumah itu menjadi lebih ramai. Meskipun, kerap kali diantara mereka terdiam karena rindu menginginkan ibunya agar segera pulang. 

Pukulan Kabar Duka

     Orang rumah memang hanya menunggu kabar dari pihak rumah sakit. Mereka tidak tahu bagaimana situasi yang terjadi selama ibu berada di kamar inap. Bagaimana rasa capek dan kewalahan bapak karena mengurus ibu seorang diri. Meskipun berada di rumah sakit, tetap saja ada rasa khawatir. Setelah jalan tiga hari ibu mendapat perawatan, kondisinya dikabarkan membaik.

     Namun, rasa senang mendadak pergi bahkan lenyap entah kemana. Ternyata, pagi hari keadaan ibunya dikabarkan mendadak drop. Mendengar akan kabar tersebut, Nurul dan keluarga di rumah hanya terbayang rasa kalut dan kekhawatiran semakin menjadi.

     Hingga pada akhirnya, terdengar telepon berdering dari handphone Nurul. 

“Ring ring ring ring…Panggilan suara masuk.”
     Nurul segera menggenggam handphone-nya dengan penuh harap. Terlihat pada layar, panggilan suara masuk atas nama “Mbak Linda”.

     Sontak dalam lubuk hati, terbesit kekhawatiran berita baik-baik saja atau justru kabar buruk. Kabar yang sama sekali tidak ingin didengar oleh Nurul. Perlahan namun pasti, jemari Nurul mulai menahan tombol hijau. Ia memilih mode loudspeaker, agar saudaranya juga bisa mendengarkan. 

     "Rul…Ibu sudah tidak ada rul," ucap Mbak Linda dengan suara menahan tangis. 

     Mendengar kabar tersebut, Nurul hanya bisa terdiam tanpa memberi respon apapun. 

     “Rasanya sakit, tapi saya hanya bisa diam.” 

     Mereka saling pandang dengan tatapan menahan tangis. Bahkan, seusai menerima telepon, Nurul masih merasa itu semua hanya mimpi. Mendengar kalimat yang dari jauh hari tak ingin dai dengar dari mulut siapapun. Namun, apalah daya ketika realita kehendak Tuhan lebih mengatur rencana hidup manusia, dengan skenario ibu berpulang lebih dulu ke pangkuan-Nya. 

     Tak lama, suara speaker masjid terdengar. Menyebutkan dengan seksama kabar kematian ibu. Biasanya, kabar duka Nurul dengar dari tetangga atau warga desa sebelah. Akan tetapi tepat di 13 Juli 2020, Nurul mendengar kabar duka tentang kematian ibunya.  

     "Keluarga bergegas menyiapkan kepulangan, dan pemakaman ibu.”

     Perlahan saudara jauh, dan para tetangga mulai berdatangan. Membawa sebaskom beras diikuti dengan ucapan bela sungkawa. 

     “Semoga tenang, surge untuk ibumu Rul.”

     “Semoga husnul khatimah.”

     “Nurul yang sabar.”

     Sederet kalimat itu yang terdengar dan memenuhi isi kepala Nurul.

Terbatas Peti Jenazah

     Tercatat meninggal sebagai kondisi pasien Covid-19, menjadikan relung hati teriris. Apalagi, ketika keluarga tidak diperbolehkan melihat jenazah ibu untuk yang terakhir kalinya. Peraturan itu menjadi hal wajib yang harus dilakukan meskipun sangat pilu terasa. 

     Nurul bahkan masih tidak percaya. Bagaimana bisa dia dan keluarga tidak memiliki kesempatan terakhir untuk melihat wajah sang ibu. Tidak bisa memandikan, mencium, ataupun memeluk tubuh ibunya. Hal tersebut menjadi kenyataan berat, bahkan tidak bisa diungkapkan secara mendalam.

     "Mayat ibu sudah disucikan dan langsung dimasukkan dalam peti jenazah oleh pihak rumah sakit, jadi keluarga tidak tahu sama sekali waktu itu.”
     Keluarga hanya melihat peti jenazah berukuran dua meter itu diturunkan dari ambulance. Para tenaga medis lengkap dengan pakaian Alat Pelindung Diri (APD) berhati-hati menghantarkan jenazah ibu ke liang lahat di Tempat Pemakaman Umum Desa Banjaranyar.

     Nurul tidak menduga, saat pertemuan sekaligus bakti terakhir terhadap pintu surganya adalah saat menyiapkan barang akan pergi ke rumah sakit. Dia tidak pernah menyangka ditinggal pergi dengan cara demikian. 

     "Benar-benar terasa mimpi, dan saya masih mengira bahwa ibu hanya pergi ke luar kota."  

Suratan Takdir

     Di balik meninggalnya ibu Nurul, ada nenek yang merasa lebih hancur bahkan merasa tertipu. Mendengar kabar meninggalnya sang anak, nenek Nurul hanya diam membisu. Betapa pilu ketika seorang ibu yang melahirkan, namun harus ditinggalkan anaknya terlebih dahulu.

     Perasaan kaget sekaligus duka pun tak terelakkan dari sang nenek. Dia hanya mengetahui bahwa anaknya sakit demam dan dirawat di rumah. Mendadak menerima kenyataan harus siap ditinggal selama-lamanya oleh sang anak. 

     Nurul hanya bisa memeluk nenek dengan tubuh rentanya di sudut ruang keluarga. Mata keriputnya tidak bisa mengelak kesedihan yang tiba-tiba saja menghampiri hidupnya.

     Sontak Nurul melihat bapak dan ketiga saudaranya hanya terdiam. Terlihat begitu tegar namun sorot mata mereka tak bisa menyimpan segala rasa sedih. Kala itu, tak satupun kata yang mampu terucap dari mulut Nurul. Hanya derasnya air mata yang membasahi pipi dan kerudungnya.

     Bahkan, pukulan duka semakin mendalam selang dua minggu ibu Nurul meninggal, ternyata dua orang pamannya juga turut menghembuskan napas terakhir.

     Keduanya sama seperti ibu Nurul, menjadi orang yang terpapar bahaya virus Covid-19. Sayangnya, mereka belum sempat mendapat perawatan medis. Tidak mendapat kamar rumah sakit, dan terpaksa harus dirawat mandiri di rumah. Ditambah dengan tidak adanya ketersediaan oksigen yang memadai. 

     Nurul dihadapkan dengan suratan takdir, harus menerima kenyataan jika orang terdekatnya diminta untuk pergi terlebih dulu. Duka benar-benar merundung keluarga Nurul, kenyataan yang harus diterima dengan lapang dada dan hati ikhlas. Terselip doa agar kenyataan menyakitkan ini menjadi penguat untuk terus menjalankan hidup.

Hidup Terus Berjalan

     Meninggalnya mendiang ibu benar-benar mengubah kebiasaan keluarga Nurul. Mereka lebih ketat dalam menjalankan protokol kesehatan. Dan tentunya belajar dari pengalaman tempo hari untuk lebih menjaga jarak, menghindari kerumunan

     Lebih dari itu, hari-hari Nurul pun juga mengalami perubahan yang sangat drastis. Banyak sekali kebiasaan yang dilakukan ibunya, namun kini digantikan oleh Nurul yang terpaksa berhenti bekerja. 

     "Jadi ibu itu benar-benar kerja selama 24 jam," celetuk Nurul menghembuskan napas dalam. 

     Membiasakan diri harus bangun pagi sekali untuk memasak. Dilanjut dengan membersihkan rumah dan mencuci baju kotor, ataupun piring bekas makan. Hal-hal tersebut yang biasanya dilakukan oleh ibu, namun saat ini harus Nurul semua yang mengerjakannya. 

     Nurul pun lebih pandai dan mengerti untuk mengelola keuangan. Dia kerap kali dipusingkan dengan harga cabai, bingungnya besok mau masak apa untuk kakak dan ayahnya. Serta tak kalah membuatnya pusing, ketika harus tiba-tiba mengganti tabung gas ataupun galon air minum. 

     Menurut kakak-kakak Nurul, adik perempuannya ini ternyata sangat kuat dalam menerima kenyataan. Bahkan, Mas Utomo melihat perubahan besar terjadi dalam diri Nurul. 

     "Dia termasuk anak yang ikhlas dan mau selalu belajar.”

     Nurul memang banyak mengalami perubahan, bahkan Nurul menjadi pribadi yang sudah enggan untuk pergi bermain. Selain karena sudah dilelahkan oleh pekerjaan rumah, dia juga memang lebih lebih nyaman di rumah bersama nenek dan keponakannya. Beruntung masih ada nenek yang masih bisa menemani dia makan, karena hal itu ibu yang biasan melakukannya. 

     "Nenek itu salah satu penguat aku dari keadaan pilu kemarin.”

     Akan tetapi, baru saja selang tiga bulan setelah meninggalnya ibu dan paman Nurul. Ternyata nenek juga turut berpulang untuk selama-lamanya. Padahal, sebelumnya keluarga sudah sangat berharap bahwa kabar duka cukuplah itu saja. Namun ternyata tidak, kabar duka masih menyelimuti keluarga Nurul. 

     Hingga untuk kesekian kalinya speaker masjid mengumumkan kematian atas nama keluarga Kastolan. 

     "Ingin sekali menganggap bahwa semua ini hanya mimpi.”
     Sakit bukan kepalang, ketika harus siap dan tidak siap ditinggalkan oleh dua orang malaikat dalam hidupnya. Bahkan setelah rentetan kabar duka itu, sempat terlintas di benak Nurul tentang pertanyaan: ‘Untuk apa sebenarnya hidup di dunia ini?’

     "Melihat orang di sekitar saya berpulang lebih dulu, cukup membuat saya bertanya-tanya tentang apa arti hidup ini, terlebih jika sudah tidak ada lagi ibu.”

     Selama ibunya hidup, Nurul memang lebih dekat dengan ibu dan neneknya. Bahkan tujuan hidup Nurul ketika ibu sudah tiada, dia berusaha tetap melakukan hal terbaik untuk nenek. Namun, ketika keduanya sudah tiada Nurul sempat hilang arah untuk menentukan tujuan hidup. 

     "Tapi kan, hidup terus berjalan ya.”

     Melihat berbagai peristiwa yang telah terjadi dalam hidupnya, ternyata berhasil menitipkan kekuatan dan keikhlasan dalam diri Nurul. Melalui proses pendewasaan yang terbentur-terbentur-terbentur lagi, dan perlahanan terbentuk. Dia pun mulai mengerti dan menghargai arti penting kebersamaan bersama keluarga dan orang-orang tersayang dalam hidupnya.


Penulis: 
Nindi Widya Wati
Vidiana Lihayati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi Usaba Sambah: Babak Hidup Baru Masyarakat Bali